Selamat Datang di Website Resmi PT. Jasa Lingkungan Indonesia Hubungi Kami
Sesuai dengan Undang -Undang Republik Indonesia Nomor : 29 tahun 2009, Kawasan transmigrasi terdiri dari Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT) yang mendukung pusat pertumbuhan baru dan Lokasi Permukiman Transmigrasi (LPT) yang mendukung pertumbuhan yang sudah ada.

Foto: Illustrasi
Secara hirarkhi kewilayahan WPT atau LPT terdiri dari SKP-SKP (Satuan Kawasan Pengembangan) dan SKP terdiri dari SP-SP (Satuan Permukiman). Sesuai hirakhi kewilayahan tersebut perencanaan permukiman dibagi dalam 3 tahap yaitu :
  • Tahap I : Rencana Kerangka Wilayah Pengembangan Transmigrasi (RKWPT) atau Rencana Lokasi Permukiman Transmigrasi . (RLPT), Skala 1: 50.000
  • Tahap II : Rencana Kerangka Satuan Kawasan Pengembangan RKSKP, Skala 1 : 25.000
  • Tahap III : Rencana Tehnik Unit Permukiman Transmigrasi dan Rencana Tehnik Jalan (RTJ), Skala 1 : 10.000
Untuk mewujudkan permukiman transmigrasi yang layak idealnya tahapan perencanaannya mengikuti tahapan tersebut diatas agar dapat memacu pusat-pusat pertumbuhan yang sudah ada dan mewujudkan pusat-pusat pertumbuhan baru sesuai dengan hirarkinya.

Penerapan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah menyebabkan berbagai perubahan pada struktur organisasi pelaksanaan pembangunan di daerah, dimana Pusat berfungsi sebagai steering, yaitu memberikan fasilitasi dalam mekanisme pembangunan di daerah, dengan harapan kegiatan pembangunan dapat terkendali, baik ditingkat Propinsi maupun Kabupaten sebagai pelaksana pembangunan.

Secara umum, kegiatan penyusunan Rencana Teknis Satuan Pemukiman Transmigrasi (RTSP), untuk pengembangan pertania lahan kering, terdiri atas kegiatan sebagai berikut:

Klarifikasi Penyediaan Areal Penyediaan Areal Permukiman Transmigrasi 
  1. Jelas letak, luas dan batas fisik tanah yang digambarkan dalam peta;
  2. Bebas dari hak dan/atau peruntukkan pihak lain yang dituangkan dalam Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) dari Kantor Pertanahan Setempat;
  3. Bebas dari hak adat dan/ ulayat yang sah dan dituangkan dalam Berita Acara Penyerahan Hak Atas Tanah oleh masyarakat adat setempat;
  4. Diprioritaskan pada Areal Penggunaan Lain (APL), atau berada dalam kawasan hutan yang telah memperoleh persetujuan dari Menteri Kehutanan.
  5. Penilaian Status Calon Lokasi Transmigrasi antara adalah:
  • Harus jelas (clear) yaitu dapat diketahui letak, luas, dan batas fisik serta dipetakan pada peta calon lokasi skala 1 : 50.000. dengan koordinat nasional bukan lokal (geografis dan UTM).
  • Harus bebas dari masalah, yaitu adanya dukungan dari masyarakat, areal tidak masuk dalam kawasan hutan, areal bebas dari tumpang tindih peruntukkan lain dan adanya SK Penetapan / Pencadangan dari Gubernur / Bupati / Walikota. Status hutan berada di Areal Penggunaan Lain (APL) atau ada ijin pelepasan kawasan hutan bila pada areal bukan APL.
  • Telah mendapatkan surat pernyataan tentang status hutannya dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) setempat dilengkapi dengan petanya yang juga telah disahkan oleh BPKH.
  • Status hutan daerah studi berupa hutan produksi yang dapat dikonversi atau areal penggunaan lain (APL); e. Calon lokasi berada dekat ( < 5 km) dari lokasi Permukiman Transmigrasi yang Ada (PTA), lokasi Permukiman Transmigrasi yang sudah Diserahkan (PTD), lokasi Permukiman Transmigrasi yang Baru (PTB), dengan jumlah total warga yang memenuhi lokasi PTA, PTD dan PTS mencapai 1500 - 2000 KK.
  • Seluruh lokasi PTA, PTD, PTC dan Desa sekitarnya harus dapat dipetakan pada peta dengan skala 1 : 50.000, lengkap dengan informasi prasarana dan sarana yang sudah ada di kawasan tersebut.
Beberapa Tahapan Pelaksanaan Pekerjaan

Pemetaan Topografi

Tujuan pemetaan topografi adalah untuk membuat peta dasar yang cukup teliti dan cukup terinci untuk jenis pengernbangan yang direncanakan. Pada pola tanaman pangan lahan kering ini diperlukan sebuah peta topografi skala 1: 10.000. Lingkup (Scope) pekerjaan Pemetaan Topografi mencakup pekerjaan (a) Survai Topografi Pengikatan dan Base Line; (b) Survai Topografi dalam jalur rintisan per 500 M, (mith band, clinometer, compas); (c) Survai topografi dalam jalur rintisan per 250 meter, setelah RTSP pendahuluan.

Survai Topografi Pengikatan dan Base Line Pengukuran disini adalah pengukuran horizontal dan vertikal dilakukan secara bersamaan dari titik kontrol nasional yang terpilih terhadap areal survai yang dimaksud. Bila di dalam atau di dekat daerah survai terdapat titik kontroi nasional (titik trianggulasi, astronomi, doppler dan sebagainya) yang koordinatnya dapat diperoleh dari Bakosurtanal, maka titik tersebut harus digunakan sebagai titik ikat pengukuran. Apabila titik yang dimaksud tidak ada, maka titik ikat pengukuran dipilih suatu titik tertentu yang dapat diidentifikasi pad a peta topografi dan mudah dicari di lapangan. Lintang dan bujur titik ikat tersebut diinterpolasi dengan seteliti mungkin dari peta topografi kemudian ditransformasi kedalam sistem koordinat UTM. Selanjutnya titik itu dipergunakan sebagai titik referensi bagi pengukuran base line dan pemetaan topografi. Titik ikat harus dipilih sedemikian rupa sehingga jarak antara titik ikat dengan titik awal proyek sebaiknya tidak lebih dari < 5 km. Untuk datum vertikal dapat dipergunakan ketinggian permukaan air laut rata-rata atau ketinggian Baromatrik atau ketinggian suatu object yang dapat diidentifikasi pada peta, topografi. Pengukuran tinggi dilakukan pada semua titik polygon. Base line dibuat sedemikian rupa, sehingga jarak maksimum antara dua base line tidak lebih dari 3 Km. Jika jarak antara base line ke tepi batas areal pengukuran kurang dari 3 km, maka cukup dibuat 1 (satu) buah base line yang dipilih sedemikian rupa, sehingga base line tersebut bisa membagi areal survai menjadi 2 bagian hampir sama besar. Jika terdapat dua base line atau lebih, maka base line yang satu harus terikat pada base line lainnya.

Survey Penelitian Tanah dan Evaluasi Kesuaian

Survai/penelitian tanah dilaksanakan dengan pemboran, deskripsi profil pewakil dan analisis laboratorium. Pemboran dilakukan sampai kedalaman 120 cm. atau sampai bahan induk. mengikuti setiap rintisan yang telah dibuat untuk survey topografi dengan kerapatan per 250 m. atau rata-rata kerapatan 1/ 12,5 Ha untuk sebuah areal survei jarak antar rintisan 500) dan 1/6,25 Ha untuk calon lahan Pekarangan/Pangan dan fasilitas umum (Rintisan / 250 m). Pengamatan pemboran dan diskripsi profil mengikuti pedoman "Soil survey manual" (Soil Survey staff, 1951, 1961) atau "Pedoman Pengamatan tanah di lapang" (Dok LPT, 1969). Pemetaan tanah/satuan lahan dilakukan pada tingkat semidetail untuk seluruh areal survai dan tingkat detail untuk calon lahan pekarangan/pangan fasilitas umum dengan klasifikasi menurut terminologi dari Pusat Penelitian Tanah (PPT, 1983) dan disebutkan padanannya menurut sistem Soil Taxonomy (USDA, 1977) dan FAO-Unesco (1985) sekurang-kurangnya dibuat 2 profil, salah satu profil pewakil diambil contoh tanah setiap lapisan/horizon untuk dianalsia di laboratorium.Peta Satuan Tanah/satuan lahan disajikan pada skala 1: 1 0.000 untuk seluruh areal survai dan skala : 5000untuk calon lahan pekarangan / pangan dan fasilitas umum berdasarkan pengamatan di lapangan dan jika ada dilengkapi hasil interpretasi foto udara. Peta tanah (Peta tanah dan kesesuaian lahan) Skala 1 : 10.000 dilengkapi dengan klasifikasi menurut 3 sistem tersebut di atas dan penilaian kesesuaian lahan untuk setiap Satuan Peta Lahan (SPL) tersebut. Peta Lahan skala 1 : 5000 dilengkapi dengan legenda satuan tanah / lahan dengan menunjukkan deskripsi (schema) yang meliputi kedalaman efektif, tekstur lapisan atas dan bawah, struktur, konsistensi, reaksi tanah (pH), kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB). Setiap titik observasi tanah baik pemboran, profil, komposit dan contoh fisik / undistrub-sample jika ada) di plotkan pada peta yang disajikan. Contoh tanah komposit untuk penilaian kesuburan diambil pada lokasi yang dicalonkan untuk pekarangan (LP) dan Lahan Usaha I (LU.I), dengan kerapatan satu contoh untuk setiap blok/kelompok lahan pekarangan atau minimal per 25 ha (50 kk) diambil dari kedalaman 0-30 cm. Sedangkan untuk Lahan Usaha II dengan kerapatan satu contoh per 50 Ha pada kedalaman 0-30 cm dan 30-60 cm.
Evaluasi Kesesuaian Lahan . Penilaian kesesuaian lahan harus dilakukan berdasarkan pnnslp sesuai seperti yang diterapkan dalam A Frame Work Lang Evaluation (FAO.1976). Kesesuaian lahan dinilai pada tingkat Sub Kelas untuk 3 type penggunaan lahan yaitu padi sawah, tanaman pangan lahan kering dan tanaman tahunan

Untuk Tahapan yang Lengkap silahkan menghubungi perusahaan kami.

Perusahaan Kami Telah terbukti Berpengalaman dalam masalah penangganan dan perencanaan serta pengembangan di sub bidang Rencana Teknis Satuan Pemukiman Transmigrasi (RTSP) jika Anda ingin menjadi rekanan kami maka HUBUNGI KAMI